Membaca Jarang, Apalagi Menulis


PERJALANAN dan pergumulan akademik di kalangan sivitas akademika menemukan jalan buntu. Isu keterpurukan hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa dan dosen adalah bukti jelas bahwa elemen utama universitas telah terjerembap dalam kebiasaan tanpa kata. Ide dan pemikiran tersumbat karena pelaku akademis jarang membaca, apalagi menulis kata.

Kodrat kemalasan itulah yang membawa kita menuju peradaban dan bingung menghadapi modernisasi sebagai antek-antek kapitalis. Sebab, menulis masih dianggap aktivitas utopis. Perkembangan intelektual ternyata mengalami stagnasi.


Aktivitas menulis dan iklim gemar membaca sudah ditiadakan oleh silabus perkuliahan. Mahasiswa dikejar-kejar kurikulum dan tak sempat melihat apa yang terjadi di dunia. Mahasiswa dipaksa berhenti berpikir karena sistem pengaturan pendidikan dan diktat-diktat yang tertentukan. Alangkah sadis, bahkan tak berhak, mahasiswa melawan untuk sekadar memperkaya diri dengan bacaan ilmu-ilmu interdisipliner.

Budak Kapitalis Para pelaku akademis malah bangga karena sadar dan mengimani diri sebagai budak kapitalis. Lihat saja sekian banyak mahasiswa mengemis pekerjaan. Mereka merendahkan diri karena derajat intelektual telah tiada dan kalah oleh para pemilik modal. Tak pelak, mahasiswa pun dicetak untuk sekadar menjadi buruh perusahaan. Identifikasinya kian jelas, mahasiswa diajari lupa akan kemandirian dan tanggung jawab kolektif. Problemnya merujuk ke stigmatisasi dalam masyarakat yang masih menganggap belajar bukan tujuan utama dalam kehidupan.

Mahasiswa tak mampu menulis adalah mahasiswa bunuh diri. Setidaknya menulis berbagai buku harian tak dilakukan. Seperti Gie, yang selalu menulis pemikiran-pemikirannya untuk mengubah pandangan dunia mengenai demokrasi dan pergerakan yang independen dari maklumat kanan dan kiri. Mahasiswa kritis seyogianya menjadi pihak yang memihak kebenaran, meski terbungkam. Kini, minat menulis mahasiswa menyurut karena tak diberi ruang dialektika — ruang diskusi yang sanggup memberi limpahan ilmu pengetahuan.


Mahasiswa kian menjadi kelompok indifferent di universitas. Belajar dan membaca bukanlah sesuatu yang menarik mereka lakukan. Mereka menginginkan hidup jauh dari gugatan dan memilih hidup tenang dalam kungkungan silabus. Struktur telah membekukan jalan hidup. Nafsu dan hasrat menulis lemah karena bertempur dengan keinginan duniawi dengan proporsi yang meningkat dan kerelaan diri.


Fenomena pengetahuan berada pada titik konaturalis yang tak pasti. Manifestasinya ada pada materi, bukan misteri dalam analisis. Watak dan kodrati pengetahuan yang terbakukan adalah bukti nyata. Inteligensi mengarah ke acuan subversif, meski ada proyek signifikasi pengetahuan yang bersifat momentum. Afektivitas mahasiswa dalam memandang ilmu seperti cermin-cermin yang memantulkan dunia, tetapi netral-netral saja. Tak perlu merasa resah dan gelisah.

Kurang Kontemplatif Kecenderungan mahasiswa untuk menulis tak dilengkapi referensi membuat nalar tak terjiwai secara objektif. Kualitas tulisan menjadi kurang kontemplatif dan reflektif. Tulisan yang lemah menyumbang kredibilitas dan autentisitas yang lemah pula, sehingga jauh dari logisme dan silogisme dalam pergaulan naluriah perguruan tinggi.

Perlu kiranya dirasai, menulis adalah tindakan imanen. Suatu tindakan vital yang menjadi pangkal pokok dalam cokolan dan titik kembang diri sebagai mahasiswa dan institusi sebagai prasarana. Suatu tindakan intensional yang mencerahkan dalam mengabdi pada diri dan masyarakat luas. Suatu kodrat yang sangat istimewa bagi konstitusi hidup dan filosofi di segala ranah.


Menulis dalam tataran tertentu memainkan beberapa peranan dalam afeksi positif. Sebagai Bonum utile (nilai guna dalam melayani), Bonum delectabile (nilai aktivitas yang menyenangkan), dan Bonum honestum (nilai dalam mencari apa yang pantas didapatkan). Ketika ketiga peranan itu digabungkan dalam sinkronitas dan daya tarik-menarik, hidup dengan mudah merangkum cinta, kebenaran, keindahan, keadilan, kebebasan, kreativitas, dan lain sebagainya.


Menulis tetaplah aktivitas independen. Jalan menulis bagi mahasiswa menjadi kian berat. Padahal, dunia membutuhkan para pemikir muda yang senantiasa segar dan memiliki integritas kuat. Tentu dalam menyuarakan kebenaran, mempertanyakan ketidakadilan, dan kritis. Menulis adalah tugas dan perang yang hebat. Tindakan untuk memerdekakan diri. Menulis merupakan perjuangan tanpa batas melawan penindas kehidupan.


Aspirasi dengan tendensi kejiwaan yang utuh dan bermartabat memang sulit dicapai. Namun pembersatuan kebahasaan yang mumpuni bisa diperoleh melalui kebiasaan. Kebiasaan menulis melatih indra lebih peka dan berkarakter. Kontrol kemauan, pikiran, dan kehendak untuk memilih bisa diperoleh melalui kesadaran diri dengan menulis. Determinisme dalam membaca membantu mengikuti motif yang kuat untuk menguak sesuatu yang misteri.


Mahasiswa, mari bangkitkan diri dengan menulis dan membaca. Mengimani diri sebagai manusia pembelajar. Menjiwai kehidupan dengan kenikmatan berpikir. Mandiri, merdeka, dan independen. Berikan kasih pada sesama melalui jalan menulis. Hidupkan cahaya penerang bagi kaum yang tersesat dalam dunia pendidikan. Jadilah generasi yang tidak melarat kata.

0 komentar:

Posting Komentar

google translate

Blog Statistic

free counters

Labels

Followers

Blog Archive

Entri Terpopuler

About Me

Ponorogo, Jawa Timur, Indonesia
Saya sekolah di SMPN 1 Ponorogo dan saya sekarang kelaz 8 Alamat rumah saya di Jln Anjani No 20 a Pakunden Ponorogo